1.RADEN RASYID RIDHO
2.ALIFAH RAHMA PUTRI
3.MUSTIKA NURWULAN NINGSIH
4.SAMSUDIN
5.NURDIN SYAM
Featured Posts
Sabtu, 03 Mei 2014
UNDANG-UNDANG DAN PENANGGULANGANNYA
Saat
ini di Indonesia belum memliki UU khusus/ Cyber Law yang mengatur mengenai Cybercrime,
walaupun UU tersebut sudah ada sejak tahun 2000 namun belum disahkan oleh
pemerintah dalam upaya menangani kasus-kasus yang terjadi. Menangani kasus carding
para penyidik (khususnya Polri) melakukan analogi atau perumpamaan dan
persamaan terhadap pasal-pasal yang ada dalam KUHP pada Cybercrime. Sebelum
lahirnya UU no.1 tentang Informasi dan
Transaksi Elektronika (ITE), maka mau tidak mau Polri harus menggunakan
pasal-pasal di dalam KUHP seperi pasal pencurian, pemalsuan dan penggelapan
untuk menjerat para carder dan ini jelas menimbulkan berbagai kesulitan dalam
pembuktiannya karena mengingat karakteristik dari cybercrime sebagaimana telah
disebutkan diatas yang terjadi secara nonfisik dan lintas negara.Di Indonesia carding
dikategorikan sebagai kejahatan pencurian dimana pengertian pencurian menurut
hukum beserta unsur-unsurnya dirumuskan dalam pasal 362 KUHP yaitu : “Barang siapa mengambil suatu denda yang seluruhnya
atau sebagian milik orang lain dengan maksud untuk dimiliki secara melawan hukum,
diancam karena pencurian, dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau denda
paling banyak Rp. 900”. Untuk menangani kasus carding diterapkan pasal 362
KUHP yang dikenakan untuk kasus carding dimana pelaku mencuri nomor kartu
kredit milik orang lain walaupun tidak
secara fisik karena hanya nomor kartunya saja yang diambil dengan menggunakan
software card generator di internet untuk melakukan transaksi di
e-commerce. Setelah dilakukan transaksi dan barang dikirimkan, kemudian penjual
yang ingin mencairkan uangnya di bank ternyata ditolak karena pemilik kartu
bukanlah orang yang melakukan transaksi.
Kemudian dengan
lahirnya UU ITE, khusus kasus
carding dapat dijerat dengan menggunakan pasal 31 ayat 1 dan 2 yang membahas tentang hacking. Karena dalam salah
satu langkah untuk mendapatkan nomor kartu kredit carder sering melakukan
hacking ke situs-situs resmi lembaga penyedia kartu kredit untuk menembus
sistem pengamannya dan mencuri nomor-nomor kartu tersebut.Bunyi pasal 31 yang
menerangkan tentang perbuatan yang dianggap melawan hukum menurut UU ITE berupa
ilegal access :
Pasal
31 ayat 1 : “Setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau penyadapan atas
informasi elektronika atau dokumen elektronik secara tertentu milik orang
lain”.
Pasal
31 ayat 2 : “Setiap orang dengan sengaja dan
tanpa hak atau melawan hukum melakukan intersepsi atau transmisi elektronik
atau dokumen elektronik yang tida tersidat publik dari, ke dan didalam suatu
komputer dan atau sistem menyebabkan perubahan, penghilangan atau penghentian
informasi elektronik atau dokumen elektronik yang ditransmisikan”.
Jadi sejauh ini kasus
carding di Indonesia baru bisa diatasi dengan regulasi lama yaitu pasal 362
dalam KUHP dan pasal 31 ayat 1 dan 2 dalam UU ITE. Penanggulangan kasus carding
memerlukan regulasi yang khusus mengatur tentang kejahatan carding agar
kasus-kasus seperti ini bisa berkurang dan bahkan tidak ada lagi. Tetapi selain
regulasi khusus juga harus didukung dengan pengamanan sistem baik software
maupun hardware, guidelines untuk pembuat kebijakan yang berhubungan dengan
computer-related crime dan dukungan dari lembaga khusus.
Cara Penanggulangan dan Pencegahan yang dapat dilakukan terhadap
carding
Meskipun dalam
kenyataannya untuk penanggulangan carding sangat sulit diatasi tidak
sebagaimana kasus-kasus biasa secara konvensional tetapi untuk
penanggulangannya harus tetap dilakukan. Hal ini dimaksudkan agar ruang gerak
pelaku carding dapat dipersempit.
1. Pencegahan dengan
hukum
Hukum cyber sangat identik dengan dunia
maya, yaitu sesuatu yang tidak terlihat dan semu. Hal ini akan meenimbulkan
kesulitan bagi para penegak hukum terkait dengan pembuktian dan penegakan hukum
atas kejahatan dunia maya. Selain itu obyek hukum cyber adalah data elektronik
yang sangat rentan untuk diubah, disadap, dipalsukan dan dikirim ke berbagai
penjuru dunia dalam waktu hitungan detik. Oleh karena itu, kegiatan cyber
meskipun bersifat virtual dan maya dapat dikategorikan sebagai tidakan dan
perbuatan hukum yang nyata.
Secara yuridisuntuk ruang cyber sudah tidak
ada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi
hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara
ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari
jerat hukum. Karena kegiatan ini berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya
bersifat elektronik. Dengan demikian
subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan
perbuatan hukum secara nyata. Dan penyempurnaan undang – undang dibidang cyberspace.
2.
Pencegahan dengan teknologi
Handphone dapat dikatakan merupakan
keamanan yang privacy bagi penggunanya. SMS bisadijadikan sebagai otentikasi
untuk mencegah para carding menggunakan kartu kredit ilegal. Untuk itu
diperlukan suatu proses yang dapat memberikan pembuktian bahwa dengan cara
otentikasi sms dilakukan dengan menggunakan tanda tangan digital dan serifikat.
3.
Pencegahan dengan pengamanan web security.
Penggunaan sistem keamanan web sebaiknya
menggunakan keamanan SSL. Untuk data yang disimpan kedalam database sebaiknya
menggunakan enkripsi dengan metode algoritma modern, sehingga cryptoanalysis
tidak bisa mendekripsikanya.
4. Pengamanan
pribadi
Pengamanan pribadi
adalah pengamanan dari sisi pemakai kartu kredit. Pengamanan pribadi antara
lain secara online dan offline :
1. Pengamanan
pribadi secara offline :
a. Anda
harus memastikan kartu kredit yang anda miliki tersimpan pada tempat yang aman.
b. Jika
kehilangan kartu kredit dan kartu identitas kita, segeralah lapor ke pihak
berwajib dan pihak bank serta segera lakukan pemblokiran pada saat itu juga.
c. Jangan
tunggu waktu hingga anda kebobolan karena digunakan oleh orang lain (baik untuk
belanja secara fisik maupun secara online).
d. Pastikan
jika anda melakukan fotocopy kartu kredit dan kartu identitas tidak sampai
digandakan oleh petugas layanan (yang minta fotocopy kartu kredit anda) atau
pegawai fotocopy serta tidak dicatat CVV-nya. Tutup 3 digit angka terakhir CVV
dengan kertas putih sebelum kartu kredit kita fotocopy. Hal ini untuk
menghindari penyalahgunaan kartu kredit kita oleh pihak lain dengan tidak
semestinya. Perlakuan pengamanan CVV anda sama pengamanan PIN atau Password
anda.
e. Jangan
asal atau sembarangan menyuruh orang lain untuk memfoto copy kartu kredit dan
kartu identitas.
f. Waspadalah
pada tempat kita berbelanja, pastikan pada tempat belanja / tempat shopping /
counter / gerai / hotel, dll yang benar-benar jelas kredibilitasnya.
2. Pengamanan
Pribadi Secara Online :
a. Belanja
ditempat (Website online shopping) yang aman, jangan asal belanja tapi tidak
jelas pengelolanya atau mungkin anda baru pertama mengenalnya sehingga
kredibilitasnya masih meragukan.
b. Pastikan
pengelola website transaksi online menggunakan SSL (Secure Sockets Layer) yang ditandai dengan HTTPS pada Web
Login Transaksi online yang anda gunakan untuk berbelanja.
c. Jangan
sembarangan menyimpan File Scan kartu kredit anda sembarangan , termasuk
menyimpannya di flashdisk dan dalam email anda.
CONTOH KASUS
Kasus : Kasus Carding – Kartu Kredit Polisi
Mabes Kena Sikat Reporter: Ni Ketut Susrini detikcom – Jakarta. Kejahatan
memang tak pandang bulu, terlebih kejahatan di internet. Di dunia maya ini,
Polisi dari Markas Besar Kepolisian Republik Indonesia (Mabes Polri) pun
kebobolan kartu kredit. Brigjen Pol Gorries Mere, yang saat ini menyandang
jabatan Direktur IV Narkoba Badan Reserse dan Kriminal Mabes Polri, dikabarkan
menjadi korban kasus carding. Sampai berita ini diturunkan, Gorries Mere tidak
berhasil dihubungi untuk diminta konfirmasinya. Ketika dikonfirmasi ke Setiadi,
Penyidik di Unit Cybercrime Mabes Polri, pihaknya membenarkan hal itu. “Memang
ada laporan kalau pak Gorries Mere menjadi korban carding. Tapi saya belum
lihat detil laporannya di e-mail saya,” kata Setiadi kepada detikcom, Minggu
(27/3/2005). Menurut Setiadi, kejadiaannya berlangsung melalui warung internet
di Semarang, Jawa Tengah. Dan kasus ini sudah ditangani oleh Poltabes Semarang.
Tapi dia tidak menceritakan lebih lengkap, dengan alasan untuk melindungi
informasi yang akan digunakan dalam penyidikan. Selain itu, Setiadi mengaku
bahwa pihaknya masih harus mengonfirmasikan hal tersebut dengan penyidik dari
Poltabes Semarang. Keterangan dari sumber yang dekat dengan Mabes Polri
mengatakan, kartu kredit Gorries Mere diperkirakan telah digunakan sebanyak Rp
10 juta. Kejahatan carding bermodus memanfaatkan kartu kredit orang lain untuk
berbelanja di internet. Korbannya memang bisa siapa saja, selama memiliki dan
menggunakan kartu kredit. Apa yang dialami Gorries Mere membuktikan bahwa
seorang aparat keamanan sekali pun, tidak bisa berkelit dari hal ini. Selama
ini, kejahatan carding memang telah merajalela di Indonesia. Hal ini malah
mengantar Indonesia sebagai salah satu negara dengan kasus carding terbanyak di
dunia. Tidak hanya sampai disitu, perusahaan pembayaran online internasional,
Paypal, bahkan tidak menerima segala macam kartu kredit asal Indonesia untuk
bertransaksi di internet. Meski kondisinya sudah sedemikian parah, tidak ada
kasus carding yang berhasil diseret ke pengadilan. Tidak hanya itu,
undang-undang untuk menindak hal ini pun tak kunjung diresmikan. Rancangan
Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), sudah berumur empat
tahun dari sejak dirumuskan.
Kamis, 01 Mei 2014
KATA PENGANTAR
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, penulis panjatkan atas segala rahmat, hidayah serta
ridhoNya, atas terselesaikannya makalah yang berjudul “BLOG CYBER CRIME
(CARDING) ” yang merupakan syarat mendapatkan nilai UAS pada mata kuliah Etika
Profesi Teknologi Informasi & Komunikasi ( EPTIK ).
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa
dalam menyusun makalah ini tak terlepas dari bantuan berbagai pihak, Oleh
karena itu pada kesempatan ini penulis menyampaikan ucapan terima kasih kepada
:
- Bapak Muhammad Irfan selaku dosen EPTIK
- Kedua Orang Tua dan keluarga kami yang selalu mendoakan dan memberikan semangat
- Rekan-rekan mahasiswa BSI yang telah mendukung dalam pembuatan laporan presentasi ini
Akhir kata, penulis mohon di bukakan
pintu maaf yang sebesar-besarnya,apabila ada kesalahan dan kekurangan yang
penulis lakukan. Dan penulis mengharapkan makalah ini dapat bermanfaat
bagi penulis pada khususnya dan pembaca pada umumnya.
Jakarta,
1 Mei 2014
Penulis
BAB I PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
1. Latar
Belakang
Perkembangan Ilmu Pengetahuan dan
Teknologi (IPTEK) yang cukup pesat sekarang ini sudah menjadi realita
sehari-hari bahkan merupakan tuntutan masyarakat yang tidak dapat ditawar lagi.
Tujuan utama perkembangan iptek adalah perubahan kehidupan masa depan manusia
yang lebih baik, mudah, murah, cepat dan aman. Perkembangan iptek, terutama
teknologi informasi (Information Technology) seperti internet sangat menunjang
setiap orang mencapai tujuan hidupnya dalam waktu singkat, baik legal maupun
illegal dengan menghalalkan segala cara karena ingin memperoleh keuntungan
secara “potong kompas”. Dampak buruk dari perkembangan “dunia maya” ini tidak
dapat dihindarkan dalam kehidupan masyarakat modern saat ini dan masa depan.
Kemajuan teknologi informasi yang
serba digital membawa orang ke dunia bisnis yang revolusioner (digital
revolution era) karena dirasakan lebih mudah, murah, praktis dan dinamis
berkomunikasi dan memperoleh informasi. Di sisi lain, berkembangnya teknologi
informasi menimbulkan pula sisi rawan yang gelap sampai tahap mencemaskan
dengan kekhawatiran pada perkembangan tindak pidana di bidang teknologi
informasi yang berhubungan dengan “cybercrime” atau kejahatan duniamaya.
Masalah kejahatan maya dewasa ini
sepatutnya mendapat perhatian semua pihak secara seksama pada perkembangan
teknologi informasi masa depan, karena kejahatan ini termasuk salah satu extra
ordinary crime (kejahatan luar biasa) bahkan dirasakan pula sebagai serious
crime (kejahatan serius) dan transnational crime (kejahatan antar negara) yang
selalu mengancam kehidupan warga masyarakat, bangsa dan negara berdaulat.
Tindak pidana atau kejahatan ini adalah sisi paling buruk di dalam kehidupan
moderen dari masyarakat informasi akibat kemajuan pesat teknologi dengan
meningkatnya peristiwa kejahatan komputer, pornografi, terorisme digital,
“perang” informasi sampah, bias informasi, hacker, cracker dan sebagainya.
1.2. Maksud dan Tujuan
Maksud penulisan makalah ini adalah
:
1. Untuk lebih memahami dan mengetahui tentang pelanggaran
hukum (Cybercrime) yang terjadi dalam dunia maya sekarang ini, dan
Undang-Undang Dunia Maya (Cyberlaw).
2. Untuk lebih memahami
dan mengetahui tentang betapa bahayanya carding dan semoga kita dapat mencegah
dan menghindari carding yang termasuk salasatu pelanggaran hukum didunia maya.
Sedangkan
tujuan penulisan makalah ini adalah sebagai salah satu syarat memenuhi nilai
UAS pada mata kulih EPTIK pada jurusan Manajemen Informatika Akedemi
Manajemen Informatika dan Komputer Bina Sarana
Informatika.
1.3. Metode Penelitian
Metode penelitian yang dilakukan
oleh penulis pada penulisan tugas akhir ini adalah :
Ø Metode Studi
Pustaka (Library Study)
Selain melakukan kegiatan tersebut
diatas, penulis merangkum berbagai sumber bacaan dari bahan – bahan pustaka
yang ada hubungannya dengan masalah yang akan dibahas guna mendapatkan gambaran
yang lebih jelas mengenai materi yang akan dijadikan bahan makalah.
1.4. Ruang Lingkup
Dalam
penyusunan makalah ini, penulis hanya memfokuskan pada kasus carding yang
merupakan salasatu pelanggaran hukum pada dunia maya.
BAB II PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
2.1. Pengertian Cyber Crime
Perkembangan
yang pesat dari teknologi telekomunikasi dan teknologi komputer menghasilkan
internet yang multifungsi. Perkembangan ini membawa kita ke ambang revolusi
keempat dalam sejarah pemikiran manusia bila ditinjau dari konstruksi
pengetahuam umat manusia yang dicirikan dengan cara berfikir yang tanpa batas (borderless
way of thinking).
Cyber crime
atau kejahatan dunia maya dapat didefenisikan sebagai perbuatan melawan hukum
yang dilakukan dengan menggunakan internet yang berbasis pada kecanggihan
teknologi komputer dan komunikasi.
Dalam
beberapa literatur, cybercrime sering diidentikkan sebagai computer crime. The
U.S. Department of Justice memberikan pengertian Computer Crime sebagai: “…
any illegal act requiring knowledge of Computer technology for its
perpetration, investigation, or prosecution”. Pengertian lainnya diberikan
oleh Organization of European Community Development, yaitu: “any illegal,
unethical or unauthorized behavior relating to the automatic processing and/or
the transmission of data”. Andi Hamzah dalam bukunya “Aspek-aspek Pidana
di Bidang Komputer” (1989) mengartikan cybercrime sebagai kejahatan di
bidang komputer secara umum dapat diartikan sebagai penggunaan komputer
secara ilegal. Sedangkan menurut Eoghan Casey “Cybercrime is used
throughout this text to refer to any crime that involves computer and networks,
including crimes that do not rely heavily on computer“.
2.2. Pelanggaran Hukum Dalam Dunia Maya ( Cyber
Crime)
Munculnya revolusi teknologi
informasi dewasa ini dan masa depan tidak hanya membawa dampak pada
perkembangan teknologi itu sendiri, akan tetapi juga akan mempengaruhi aspek
kehidupan lain seperti agama, kebudayaan, sosial, politik, kehidupan pribadi,
masyarakat bahkan bangsa dan negara. Jaringan informasi global atau internet
saat ini telah menjadi salah satu sarana untuk melakukan kejahatan baik
domestik maupun internasional. Internet menjadi medium bagi pelaku kejahatan
untuk melakukan kejahatan dengan sifatnya yang mondial, internasional dan
melampaui batas ataupun kedaulatan suatu negara. Semua ini menjadi motif dan
modus operandi yang amat menarik bagi para penjahat digital.
Ø Jenis-jenis
Cyber Crime
Eoghan Casey
mengkategorikan cybercrime dalam 4 kategori yaitu:
- A computer can be the object of Crime.
- A computer can be a subject of crime.
- The computer can be used as the tool for conducting or planning a crime.
- The symbol of the computer itself can be used to intimidate or deceive.
2.3. Undang - Undang dunia maya ( Cyber Law)
Harus diakui bahwa Indonesia belum
mengadakan langkah-langkah yang cukup signifikan di bidang penegakan hukum (law
enforcement) dalam upaya mengantisipasi kejahatan duniamaya seperti dilakukan
oleh negara-negara maju di Eropa dan Amerika Serikat. Kesulitan yang dialami
adalah pada perangkat hukum atau undang-undang teknologi informasi dan
telematika yang belum ada sehingga pihak kepolisian Indonesia masih ragu-ragu
dalam bertindak untuk menangkap para pelakunya, kecuali kejahatan duniamaya
yang bermotif pada kejahatan ekonomi/perbankan.
Untuk itu diperlukan suatu perangkat
UU yang dapat mengatasi masalah ini seperti yang sekarang telah adanya
perangkat hukum yang satu ini berhasil digolkan, yaitu Undang-Undang Informasi
dan Transaksi Elektronik (UU ITE). UU yang terdiri dari 13 Bab dan 54 Pasal
serta Penjelasan ini disahkan setelah melalui Rapat Paripurna DPR RI pada
Selasa, 25 Maret 2008. Namun sejatinya perjalanan perangkat hukum yang sangat
penting bagi kepastian hukum di dunia maya ini sebenarnya sudah dimulai 5 tahun
yang lalu.
2.4. Carding
Didalam dunia maya sangat banyak
pihak-pihak yang mencari keuntungan tanpa memperdulikan segalasesuatunya entah
itu merugikan orang lain, masyarakat atau pihak yang tidak tersangkut secara
langsung. Berikut ini adalah beberapa contoh kasus pelangaran hukum terhadap
dunia maya diantaranya adalah Hacker, Cracker, Defacer, Carding, Frauder,
Spammer. Dalam penulisan makalah ini penulis mencoba membahas salah satu kasus
pelanggaran hukum dalam dunia maya yaitu carding.
Carding adalah suatu aktivitas untuk
mendapatkan nomer-nomer kartu kredit orang lain yang digunakan untuk berbelanja
si pelaku secara tidak syah atau illegal.
Carding, sebuah ungkapan mengenai
aktivitas berbelanja secara maya (lewat komputer) dengan menggunakan berbagai
macam alat pembayaran yang tidak sah. Pada umumnya carding identik dengan
transaksi kartu kredit, dan pada dasarnya kartu kredit yang digunakan bukan
milik si carder tersebut akan tetapi milik orang lain. Apa yang terjadi ketika
transaksi carding berlangsung, tentu saja sistem pembayaran setiap toko atau
perusahaan yang menyediakan merchant pembayaran mengizinkan adanya transaksi
tersebut. Seorang carder tinggal menyetujui dengan cara bagaimana
pembayaran tersebut di lakukan apakah dengan kartu kredit, wire transfer, phone
bil atau lain sebagainya.
Ø Cara carding sebagai berikut:
1. Mencari kartu kredit yang masih valid, hal ini
dilakukan dengan mencuri atau kerjasama dengan orang-orang yang bekerja
pada hotel atau toko-toko gede (biasanya kartu kredit orang asing yang
disikat) atau masuk ke program MIRC (chatting) pada server dal net,
kemudian ke channel #CC, #Carding, #indocarder, #Yogyacarding,dll. Di dalamnya
kita dapat melakukan trade (istilah "tukar") antar kartu kredit (bila
kita memiliki kartu kredit juga, tapi jika tidak punya kartu kredit, maka dapat
melakukan aktivitas "ripper" dengan menipu salah seorang yang
memiliki kartu kredit yang masih valid).
2. Setelah berhasil mendapatkan kartu kredit, maka
carder dapat mencari situs-situs yang menjual produk-produk tertentu (biasanya
di cari pada search engine). Tentunya dengan mencoba terlebih dahulu (verify)
kartu kredit tersebut di site-site porno (hal ini disebabkan karena kartu
kredit tersebut tidak hanya dipakai oleh carder tersebut). Jika di terima, maka
kartu kredit tersebut dapat di belanjakan ke toko-toko tersebut.
3. Cara memasukan informasi kartu kredit pada merchant
pembayaran toko adalah dengan memasukan nama panggilan (nick name), atau nama
palsu dari si carder, dan alamat aslinya. atau dengan mengisi alamat asli dan
nama asli pemilik asli kartu kredit pada form billing dan alamat si carder pada
shipping address. ( Tidak Untuk di Tiru !!!!!!!!!!!!!! )
Jenis kartu kredit:
1. Asli
didapatkan dari toko atau hotel (biasa disebut virgin CC)
2. Hasil trade
pada channel carding
3. Hasil ekstrapolet (penggandaan, dengan menggunakan
program C-master 4, cardpro, cardwizard, dll), softwarenya dapat di Download
disini: Cmaster4, dan cchecker (jika ada
yang ingin mengetahui CVV dari kartu tersebut)
4. Hasil hack
(biasa disebut dengan fresh CC) dengan menggunakan teknik jebol ASP (dapat anda lihat pada menu "hacking")
Contoh kartu
kredit:
First Name*
Judy
Last Name* Downer
Address* 2057 Fries Mill Rd
City* Williamstown
State/Province* NJ
Zip* 08094
Phone* ( 856 )881-5692
E-mail* klompencapir.4f@erols.com
Payment Method Visa
Card Number 5588 3201 2345 6789
Exp. Date 5/04
Last Name* Downer
Address* 2057 Fries Mill Rd
City* Williamstown
State/Province* NJ
Zip* 08094
Phone* ( 856 )881-5692
E-mail* klompencapir.4f@erols.com
Payment Method Visa
Card Number 5588 3201 2345 6789
Exp. Date 5/04
Apa anda pernah memikirkan arti dari nomor kartu kredit, dan bagaimana
angka-angka tersebut dihasilkan? Atas dasar ilmu pengetahuan, berikut ini akan
saya jabarkan RAHASIA-nya.
Pertama-tama anda harus mengenal bagian-bagian dari deretan angka pada
kartu kredit tersebut. Dari 16 angka yang anda lihat di kartu kredit Visa atau
MasterCard, 6 digit pertamanya merupakan “issuer
identifier“, yaitu kode jenis kartu kredit tersebut. Jika 6 digit tersebut
diawali dengan 4, berarti kartu kredit tersebut berjenis Visa. Namun, jika 6
digit tersebut diawali dengan 5, berarti kartu kredit tersebut berjenis
MasterCard. Berikutnya, 1 digit terakhir dari 16 digit angka di kartu kredit
tersebut berfungsi sebagai “check digit“, yang fungsinya hanya untuk validasi
pengecekan nomor kartu kredit tersebut. Karena 6 digit awal dan 1 digit
terakhir tersebut sudah memiliki arti, berarti tinggal tersisa 9 digit di
tengah yang berfungsi sebagai “account
number“.
Oleh karena terdapat 10 kemungkinan angka (dari angka 0 sampai dengan 9) yang bisa dimasukkan ke tiap digit dari 9 digit “account number” tersebut, maka kombinasi yang dihasilkan dari 9 digit tersebut berjumlah 1 milyar kemungkinan nomor untuk masing-masing jenis kartu kredit (Visa atau MasterCard). Adapun algoritma yang dipakai untuk menghasilkan deretan 16 angka untuk nomor kartu kredit tersebut dinamakan algoritma “Luhn”atau“Mod10“.
Dulu pada tahun 1954, Hans Luhn dari IBM adalah orang yang pertama kali mengusulkan penerapan algoritma untuk mengetahui valid atau tidaknya suatu nomor kartu kredit.
Cara kerja algoritma yang sederhana (tapi luar biasa) ini adalah sebagai berikut :
1. Dimulai dari digit pertama, kalikan 2 semua angka yang menempati digit ganjil, sehingga secara keseluruhan akan ada 8 digit yang anda kalikan 2, yakni digit ke 1, 3, 5, 7, 9, 11, 13, dan15.
2. Jika hasil perkalian 2 tersebut menghasilkan angka yang berjumlah 2 digit (10, 12, 14, 16, atau 18), maka jumlahkan angka masing-masing digit tersebut untuk menghasilkan 1 digit angka baru, sehingga hasil dari langkah pertama dan kedua ini tetap berupa 8 angka.
3. Langkah berikutnya, gantikan semua angka (nomor kartu kredit) yang terletak pada digit posisi ganjil tersebut dengan 8 angka baru tersebut, untuk menghasilkan deretan 16 angka baru.
4. Langkah terakhir, jumlahkan ke-16 angka tersebut. Jika hasil penjumlahannya merupakan kelipatan 10, berarti nomor kartu kredit tersebut valid, dan sebaliknya, jika tidak kelipatan 10, berarti nomor kartu kredit tersebut tidak valid. Berikut ini saya berikan contoh perhitungan sebenarnya
Seperti anda lihat di
gambar di atas ini, nomor kartu kredit tersebut adalah 5588 3201
2345 6789, karena diawali dengan 4,
berarti kartu tersebut berjenis Visa. Sekarang kita lakukan perhitungannya.
Jika sudah anda hitung dengan teliti, maka akan terlihat bahwa jumlah
akhirnya adalah 61, yang BUKAN merupakan bilangan kelipatan 10, sehingga bisa
dipastikan bahwa nomor kartu kredit tersebut adalah tidak valid. Seandainya
“check digit” di contoh tersebut bukan 8, melainkan 7, maka secara algoritma,
nomor kartu kredit tersebut akan menjadi valid, karena total penjumlahannya
akan berubah menjadi 60, suatu bilangan kelipatan 10. Berikut ini contoh yang
lain. Sekali lagi, lakukan kalkulasi sesuai algoritma Luhn di atas untuk kartu
kredit MasterCard dengan nomor 5588 3201 2345 6789 tersebut.
Bisa anda hitung sendiri, total penjumlahannya adalah 65, sehingga nomor
kartu kredit tersebut tidak valid, karena 65 BUKAN bilangan kelipatan 10.
Seandainya, “check digit” kartu kredit tersebut bukan 3, melainkan 8, maka
hasil penjumlahannya akan menjadi 70, yang merupakan kelipatan 10, sehingga
nomor kartu kredit tersebut akan menjadi valid (secara algoritma).
Pengertian valid di atas adalah valid secara perhitungan matematika, bukan berarti nomor kartu kredit tersebut benar-benar pasti nomor kartu kredit yang asli. Karena untuk pengecekan kartu kredit (pada saat transaksi online, misalnya) dibutuhkan tidak hanya nomor kartu kreditnya saja, tapi juga “expiry date“, serta “card security code” atau disebut juga dengan CVV (Card Verification Value) atau pun CVC (Card Verification Code) yang merupakan 3 digit terakhir di balik kartu kredit tersebut. P.S. : Untuk kartu kredit American Express, jumlah digitnya bukan 16, tapi cuma 15, dan selalu diawali dengan 34 atau 37 untuk 2 digit pertamanya. Sedangkan untuk “account number“-nya hanya memiliki panjang 8 digit, bukan 9 digit seperti kartu kredit jenis Visa atau MasterCard.
Pengertian valid di atas adalah valid secara perhitungan matematika, bukan berarti nomor kartu kredit tersebut benar-benar pasti nomor kartu kredit yang asli. Karena untuk pengecekan kartu kredit (pada saat transaksi online, misalnya) dibutuhkan tidak hanya nomor kartu kreditnya saja, tapi juga “expiry date“, serta “card security code” atau disebut juga dengan CVV (Card Verification Value) atau pun CVC (Card Verification Code) yang merupakan 3 digit terakhir di balik kartu kredit tersebut. P.S. : Untuk kartu kredit American Express, jumlah digitnya bukan 16, tapi cuma 15, dan selalu diawali dengan 34 atau 37 untuk 2 digit pertamanya. Sedangkan untuk “account number“-nya hanya memiliki panjang 8 digit, bukan 9 digit seperti kartu kredit jenis Visa atau MasterCard.
2.5. Peranan
Cyber Law
Cyber Law adalah aspek hukum yang
istilahnya berasal dari Cyberspace Law, yang ruang lingkupnya meliputi setiap
aspek yang berhubungan dengan orang perorangan atausubyek hukum yang
menggunakan dan memanfaatkan teknologi internet yang dimulaipada saat mulai
"online" dan memasuki dunia cyber atau maya. Pada negara yang
telahmaju dalam penggunaan internet sebagai alat untuk memfasilitasi setiap
aspek kehidupanmereka, perkembangan hukum dunia maya sudah sangat maju. Sebagai
kiblat dariperkembangan aspek hukum ini, Amerika Serikat merupakan negara yang
telah memilikibanyak perangkat hukum yang mengatur dan menentukan perkembangan
Cyber Law.Untuk dapat memahami sejauh mana perkembangan Cyber Law di Indonesia
maka kitaakan membahas secara ringkas tentang landasan fundamental yang ada
didalam aspekyuridis yang mengatur lalu lintas internet sebagai sebuah rezim
hukum khusus, dimanaterdapat komponen utama yang menliputi persoalan yang ada dalam
dunia maya tersebut,yaitu
Ø Pertama, tentang
yurisdiksi hukum dan aspek-aspek terkait; komponen inimenganalisa dan
menentukan keberlakuan hukum yang berlaku danditerapkan di dalam dunia maya itu
Ø Kedua, tentang
landasan penggunaan internet sebagai sarana untukmelakukan kebebasan
berpendapat yang berhubungan dengan tanggungjawab pihak yang menyampaikan,
aspek accountability, tangung jawabdalam memberikan jasa online dan penyedia
jasa internet (internetprovider), serta tanggung jawab hukum bagi penyedia jasa
pendidikanmelalui jaringan internet
Ø Ketiga, tentang
aspek hak milik intelektual dimana adanya aspek tentangpatent, merek dagang
rahasia yang diterapkan serta berlaku di dalam dunia cyber
Ø Keempat, tentang
aspek kerahasiaan yang dijamin oleh ketentuan hukumyang berlaku di
masing-masing yurisdiksi negara asal dari pihak yangmempergunakan atau
memanfaatkan dunia maya sebagai bagian darisistem atau mekanisme jasa yang
mereka lakukan
Ø Kelima, tentang
aspek hukum yang menjamin keamanan dari setiappengguna internet
Ø Keenam, tentang
ketentuan hukum yang memformulasikan aspekkepemilikan dalam internet sebagai
bagian dari nilai investasi yang dapatdihitung sesuai dengan prinisip-prinsip
keuangan atau akuntansi
Ø Ketujuh, tentang
aspek hukum yang memberikan legalisasi atas internetsebagai bagian dari
perdagangan atau bisnis usaha.
Berdasarkan faktor-faktor tersebut
di atas maka kita akan dapat melakukan penilaianuntuk menjustifikasi sejauh
mana perkembangan dari hukum yang mengatur sistem danmekanisme internet di
Indonesia.Perkembangan internet di Indonesia mengalami percepatan yang sangat
tinggi sertamemiliki jumlah pelanggan atau pihak pengguna jaringan internet
yang terus meningkatsejak paruh tahun 90'an. Salah satu indikator untuk melihat
bagaimana aplikasi hukumtentang internet diperlukan di Indonesia adalah dengan
melihat banyaknya perusahaanyang menjadi provider untuk pengguna jasa internet
di Indonesia. Perusahaan-perusahaanyang memberikan jasa provider di Indonesia
sadar atau tidak merupakan pihak yangberperanan sangat penting dalam memajukan
perkembangan cyber law di Indonesiadimana fungsi-fungsi yang mereka lakukan
seperti :
v Perjanjian
aplikasi rekening pelanggan internet;
v Perjanjian
pembuatan desain home page komersial;
v Perjanjian
reseller penempatan data-data di internet server;
v Penawaran-penawaran
penjualan produk-produk komersial melaluiinternet;
v Pemberian
informasi yang di update setiap hari oleh home page komersial;
v Pemberian
pendapat atau polling online melalui internet.
Merupakan faktor dan tindakan yang
dapat digolongkan sebagai tindakan yangberhubungan dengan aplikasi hukum
tentang cyber di Indonesia. Oleh sebab itu adabaiknya didalam perkembangan
selanjutnya agar setiap pemberi jasa atau penggunainternet dapat terjamin maka
hukum tentang internet perlu dikembangkan serta dikajisebagai sebuah hukum yang
memiliki displin tersendiri di Indonesia.
Secara akademis, terminologi ”cyber
law” tampaknya belum menjadi terminologi yangsepenuhnya dapat diterima. Hal ini
terbukti dengan dipakainya terminologi lain untuktujuan yang sama seperti The
law of the Inlernet, Law and the InformationSuperhighway, Information
Technology Law, The Law of Information, dan sebagainya.Di Indonesia sendiri
tampaknya belum ada satu istilah yang disepakati atau paling tidakhanya sekedar
terjemahan atas terminologi ”cyber law”.
Sampai saat ini ada beberapaistilah
yang dimaksudkan sebagai terjemahan dari ”cyber law”, misalnya, Hukum
SistemInformasi, Hukum Informasi, dan Hukum Telematika (Telekomunikasi dan
Informatika).Bagi penulis, istilah (Indonesia) manapun yang akan dipakai tidak
menjadi persoalan.Yang penting, di dalamnya memuat atau membicarakan mengenai
aspek-aspek hukumyang berkaitan dengan aktivitas manusia di Internet. Oleh
karena itu dapat dipahamiapabila sampai saat ini di kalangan peminat dan
pemerhati masalah hukum yangberikaitan dengan Internet di Indonesia masih
menggunakan istilah ”cyber law”.
Sebagaimana dikemukakan di atas,
lahirnya pemikiran untuk membentuk satu aturanhukum yang dapat merespon
persoalan-persoalan hukum yang muncul akibat daripemanfaatan Internet terutama
disebabkan oleh sistem hukum tradisional yang tidaksepenuhnya mampu merespon
persoalan-persoalan tersebut dan karakteristik dari Internetitu sendiri. Hal
ini pada gilirannya akan melemahkan atau bahkan mengusangkan konsepkonsephukum
yang sudah mapan seperti kedaulatan dan yurisdiksi. Kedua konsep iniberada
padaposisi yang dilematis ketika harus berhadapan dengan kenyataan bahwa
parapelaku yang terlibat dalam pemanfaatan Internet tidak lagi tunduk pada
batasankewarganegaraan dan kedaulatan suatu negara.
Dalam kaitan ini Aron Mefford
seorangpakar cyberlaw dari Michigan State University sampai pada kesimpulan
bahwa denganmeluasnya pemanfaatan Internet sebenarnya telah terjadi semacam
”paradigm shift”dalam menentukan jati diri pelaku suatu perbuatan hukum dari
citizens menjadi netizens.Dilema yang dihadapi oleh hukum tradisional dalam
menghadapi fenomena cyberspaceini merupakan alasan utama perlunya membentuk
satu regulasi yang cukup akomodatifterhadap fenomena-fenomena baru yang muncul
akibat pemanfaatan Internet.
Aturanhukum yang akan dibentuk itu
harus diarahkan untuk memenuhi kebutuhan hukum (the legal needs) para pihak
yang terlibat dalam traksaksi-transaksi lewat Internet. Untuk itupenulis
cenderung menyetujui proposal dari Mefford yang mengusulkan ”LexInformatica”
(Independent Net Law) sebagai ”Foundations of Law on the
Internet".Proposal Mefford ini tampaknya diilhami oleh pemikiran mengenai
”Lex Mercatoria”yang merupakan satu sistem hukum yang dibentuk secara evolutif
untuk meresponkebutuhan-kebutuhan hukum (the legal needs) para pelaku transaksi
dagang yangmendapati kenyataan bahwa sistem hukum nasional tidak cukup memadai
dalammenjawab realitas-realitas yang ditemui dalam transaksi perdagangan
internasional.Secara demikian maka ”cyber law” dapat didefinisikan sebagai
seperangkat aturan yangberkaitan dengan persoalan-persoalan yang muncul akibat
dari pemanfaatan Internet.
Pembahasan mengenai ruang lingkup
”cyber law” dimaksudkan sebagai inventarisasi ataspersoalan-persoalan atau
aspek-aspek hukum yang diperkirakan berkaitan denganpemanfaatan Internet.
Jonathan Rosenoer dalam Cyber law, the law of internet mengingatkan tentang
ruang lingkup dari cyber law diantaranya :
Ø Hak Cipta
(Copy Right)
Ø Hak Merk
(Trademark)
Ø Pencemaran
nama baik (Defamation)
Ø Fitnah,
Penistaan, Penghinaan (Hate Speech)
Ø Serangan
terhadap fasilitas komputer (Hacking, Viruses, Illegal Access)
Ø Pengaturan
sumber daya internet seperti IP Address, domain name
Ø Kenyamanan
Individu (Privacy)
Ø Prinsip
kehati-hatian (Duty care)
Ø Tindakan
kriminal biasa yang menggunakan TI sebagai alat
Ø Isu
prosedural seperti yuridiksi, pembuktian, penyelidikan dll
Ø Kontrak /
transaksi elektronik dan tanda tangan digital
Ø Pornografi
Ø Pencurian
melalui Internet
Ø Perlindungan
Konsumen
Ø Pemanfaatan
internet dalam aktivitas keseharianseperti ecommerce, e-government, e-education
dll.
Langganan:
Postingan (Atom)